Tri Purwaningsih*
Masih teringat jelas, pada pertengahan bulan Maret, Perkuliahan untuk sementara di-off-kan dan diganti dengan kuliah online. Yang sebelumnya bersifat tatap muka digantikan dengan pembelajaran bersifat dunia maya. Bukan hal yang mudah untuk beradaptasi dengan perubahan cepat tersebut.
Semua mahasiswa diharuskan untuk tetap #dirumahaja. Sebagai upaya untuk pencegahan penyebaran virus covid-19. Jujur, awal mula ditetapkan keputusan tersebut merasa senang dan gembira karena dikira diliburkan. Maklum, yang namanya mahasiswa mendengar kata ‘libur’ seperti dapat THR. Sumringah.
Awalnya ‘libur’ hanya diperkirakan selama dua minggu saja. Seiring dengan semakin meluasnya penyebaran virus ini akhirnya diperpanjang sampai satu bulan ke depan. Dan akhirnya keputusan kuliah online dilaksanakan sampai akhir semester. Sungguh nikmat yang luar biasa sekali.
Awal mulanya biasa-biasa saja, masih bisa dimaklumi. Lama kelamaan semakin banyak dan notifikasi tugas menjadi trending topic di grup WA kelas. Ditambah materi belum juga disampaikan oleh dosen namun tugas sudah diberikan. Makjleb tenan. Yang awalnya sistem kuliah online seketika berubah menjadi tugas online.
Di sisi lain, kewajiban membantu orang tua diprioritaskan karena #dirumahaja. Ekspektasinya di rumah dapat mengerjakan tugas dengan rebahan, namun kenyataannya semua tidak semudah itu, Fergusooo. Rebahan dengan tanggungan beban tugas ternyata bikin linu seketika.
Kondisi rumah yang jauh dari kota atau lebih tepatnya tinggal di pedesaan menambah ‘derita’ ini. Sinyal menjadi musuh utama bak Thanos di Avenger. Hujan turun, sinyal ikut dibawa kabur angin. Mati listrik, sinyal ikut mati. Asli. Dasar sinyal, baperan. Kayak mantan.
Tidak hanya kendala yang di atas, kuota internet juga menjadi musuh bersama yang pasti dapat menghambat berlangsungnya pembelajaran online ini. Yang biasanya hanya berpuluh-puluh ribu dalam sebulan. Sekarang dengan adanya kuliah online bisa mencapai ratusan ribu. Jika dibayangkan, dari manakah datangnya uang tersebut?
Bagi mahasiswa yang sudah bekerja, mungkin tidak menjadi masalah. Lalu, bagaimana nasibnya para kaum misqueen kuota ini? Pejuang WiFi dan kaum rebahan. Nasib oh nasib. Ketika mengharapkan belas kasihan dari orang tua untuk men-support keberlangsungan kuliah online ini, hati tak tega rasanya. Bingung aing.
Dahulu kala (sebelum pandemi Corona) jika tidak punya kuota, masih bisa mengerjakan tugas kuliah dengan memanfaatkan WiFi area kampus. Tetapi sekarang, apa kabar? Siapa yang ingin memberi fasilitas WiFi? Ikhlas, sabar, dan tabah adalah kuncinya. No Problemo, yang terpenting dunia ini tersenyum kembali. Urusan WiFi itu urusan nanti, Hehe. Tetap semangat ya kuliah onlinenya.
*Mahasiswa BKI Angkatan 2018