Galih Fajar Fadillah, M.Pd*

Alhamdulillah kita masih diberi nikmat sehat, Iman dan Islam. Mahasiswaku yang budiman, kuharap kalian dalam keadaan yang sehat, sejahtera dan bahagia. Melihat tugas yang kalian kerjakan, saya merasa perlu untuk menjelaskan tentang salah satu keterampilan konseling RoF (Reflection of Feeling). Sama halnya dengan keterampilan konseling yang lain, jika kalian masih ingat “senjata” utama konselor adalah komunikasinya maka Rof  kita artikan sebagai keterampilan berkomunikasi pula. Mengapa saya perlu menjelaskan keterampilan ini karena beberapa tugas yang saya baca ada yang menyamakan antara Rof dengan parafrasa.

Kedua jenis keterampilan ini tampak serupa namun tak sama. Hal yang menyerupai di antara keduanya adalah, tindakan pe-refleksi-an informasi. Artinya keduanya “memantulkan” kembali pesan yang disampaikan oleh konseli kepada konseli sendiri. Lantas di mana perbedaan? Perbedaannya terletak pada hal yang dipantulkan atau direfleksikan. Parafrase merefleksikan ide-ide, gagasan, pikiran-pikiran yang menggambarkan isi pembicaraan konseli. Di sisi lain refleksi perasaan merefleksikan ekspresi perasaan konseli, ekspresi perasaan konseli dapat dilihat secara verbal/non-verbal.

Orang awam atau bahkan kita sebagai konselor pemula, terkadang susah membedakan antara pikiran dan perasaan. Tanpa kita sadari kita menggunakan “modalita” untuk mengutarakan pikiran namun justru yang terucap modalita untuk mengungkapkan perasaan kita. Semoga kalian faham, baik contohnya seperti tulisan saya di awal naskah ini, saya menulis “saya merasa perlu untuk menjelaskan….” perasaan apa yang Anda tangkap dari tulisan saya? Anda akan susah mencari perasaan emosional saya. Karena sebenarnya saya sedang berpikir bukan merasakan namun yang Anda baca adalah “saya merasa…” seharusnya “saya berpikir bahwa…” . Perlu kita cermati bahwa hal tersebut terjadi dalam diri kita, dan kita perlu menyadarinya terkadang kita berpikir menggunakan perasaan. Jika dalam proses konseling kalian harus bisa membedakan mana pikiran mana perasaan, jangan kalian menggunakan perasaan untuk berpikir atau berpikir menggunakan perasaan, sebab antara pikiran dan perasaan adalah dua hal yang dapat kita pisahkan.

Perasaan memiliki banyak perbedaan dengan pikiran. Coba kalian pikirkan di mana ketika kalian berpikir? Maksud saya organ tubuh mana yang kalian gunakan untuk berpikir, pernahkah kalian melihat orang berpikir memegang perut? Artinya ketika Anda berpikir maka otak kita akan bekerja. Otak ini terletak di dalam kepala. Sehingga tidak heran ketika Anda melihat seseorang berfikir dia akan memegang kepalanya. Semakin keras dia berfikir terkadang semakin keras dia memegang kepalanya. Bahkan tampak meremas rambut atau memukul pelan kepalanya. Saya tidak perlu memberikan contoh. Kalian amati saja ketika UAS atau ujian, jika mahasiswa meremas kepala sendiri artinya pikirannya sedang buntu, sehingga diremas biar terbuka. Kurang lebih begitu.

Nah sementara perasaan bagaimana mekanisme kerjanya? Baik kita coba analisa bersama. Apakah Anda punya perasaan? kalau jawaban iya kita lanjutkan. Namun jika jawaban tidak, saya sarankan jangan diteruskan. Karena perasaan sama pentingnya dengan pikiran. Kalau kalian hanya punya satu hal, perasaan saja atau pikiran saja, saya sarankan kalian perlu meditasi. Karena kita terlahir dengan dua hal itu yang jadi berbeda adalah bagaimana kita mengembangkannya. Oke, saya anggap semua punya perasaan. Kalau tidak punya, saya pikir kalian akan mengalami kesusahan kuliah BKI tanpa perasaan, lebih susah tanpa pikiran.  

Bagaimana Anda mengatakan itu perasaan? Adakah gejala pada diri Anda ketika merasakan sesuatu? Baik saya bantu menjawab dengan pertanyaan lagi, pernahkan Anda merasa cemas atau takut ? Coba Anda ingat-ingat lagi ketika cemas atau takut gejala apa yang terjadi dalam tubuh anda? Umumnya orang akan mengalami ketegangan dalam ototnya. Ada pula yang berkeringat meski dalam keadaan diam. Detak jantungnya meningkat atau ada yang perutnya tidak nyaman. Artinya perasaan memiliki karakter emosional. Karakter tersebut terhubung pada beberapa organ tubuh (tidak hanya kepala, lengan atau kaki) melainkan beberapa organ tubuh yang berkaitan dengan perasaan tersebut. Perasaan ada pada batas level perut (di atas perut, di bawah kepala), bukan kepala ( Geldard & Geldard, 2011).

Ketika kita merasakan sesuatu terkadang kita ungkapkan dengan satu kata meski gejala pada diri kita lebih dari satu. Pernahkan Anda merasa menyukai seseorang? hingga susah tidur atau detak jantung meningkat tajam ketika dekat dengan orang yang disukai. Nafsu makan Anda berkurang bahkan jika itu pertama kalinya Anda akan bingung dan bertanya sendiri sebenarnya apa yang saya rasakan? Anda akan berpikir bahwa Anda memikirkannya namun sebenarnya menyukainya.

Jika Anda memikirkannya gejalanya berbeda. Karena pikiran hanya terletak di kepala. Di kepala Anda berfikir tentang namanya, alamat rumahnya, hobinya, segala sesuatu tentang orang yang Anda suka. Namun tidak berdampak pada detak jantung Anda, perut bahkan keringat. Tapi jika Anda menyukainya, tidak hanya kepala, organ lain dalam tubuh akan ikut merasakannya, bisa jadi anda akan cemas gusar dan gelisah jika sehari saja tidak bertemu dengannya. So, yang mana? Anda yang paling mengerti tentang diri anda sendiri. Cukup jelaskah? Baik kalau kurang jelas saya contohkan lagi, perhatikan baik-baik.

Sebagai mahasiswa Anda tentu memiliki tugas yang banyak. Tuntutan yang tidak sedikit terlebih sekarang perkuliahan dalam jaringan (daring). Apakah Anda mengerti yang saya maksud? Baik sekarang kita gunakan perasaan. Jika anda mengerjakan tugas menggunakan perasaan maka yang muncul adalah merasa tertekan, tak berdaya, banyak tuntutan, sedih, cemas, khawatir, was-was dsb.

Bahkan ketika Anda bertanya terkait deadline pengumpulan tugas. Anda justru membuat cemas diri sendiri, sebab Anda akan bekerja atau mengerjakan tugas berdasarkan deadline yang diberikan. Berbeda halnya dengan menghadapi tugas dengan pikiran. Bukan berarti saya meminta untuk mematikan perasaan anda. Ketika mendapat tugas, pikiran Anda akan mencoba mencari alternatif penyelesaiannya. Untuk mengurangi tekanan dalam pikiran, Anda akan menyelesaikan tugas secepat mungkin alih-alih merasakannya. Anda tidak perlu merasakan tugas melainkan perlu menyelesaikannya. Sehingga ketika ada tugas dari mata kuliah lain Anda akan menyelesaikannya pula. Jika hal itu yang terjadi perasaan Anda akan baik-baik saja. Keluhan dan umpatan sebagai bentuk katarsis dalam diri akan berkurang. Ilmu yang Anda peroleh juga bertambah, lebih-lebih berkah.

Tulisan ini mengajak Anda untuk menggunakan pikiran dan perasaan dalam tempatnya masing-masing/ kontekstual. Sebagai seorang konselor kita perlu mengenali perasaan dan pikiran konseli dan menyikapinya secara tepat. Artinya jangan terlalu menggunakan perasaan untuk menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan pikiran.

Sentimen konselor “baperan” pun sebaliknya jangan menggunakan pikiran untuk merasakan perasaan konseli bisa jadi “konselor tak berperasaan”. Melainkan kenalilah pikiran dan perasaan konseli Anda. Hal ini dapat kita latih dengan cara menyadari perbedaan perasaan dan pikiran kita dengan konseli kita. Dengan menyadari hal tersebut interaksi antara konselor dan konseli akan berjalan sewajarnya tanpa adanya tekanan pihak satu dengan lainnya.

Konselor tidak merasa selalu benar pun konseli bukan “pesakitan” yang tidak memiliki perasaan dan pikiran. Kesadaran tentang bagaimana interaksi konselor dan konseli dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya perbedaan di dalam budaya, ras, umur dan lain-lain (Inskipp, 2012). Nah, bisa membedakan tho sekarang? Semoga tulisan ringan ini bermanfaat, khususnya bagi mahasiswa BKI.

*Dosen BKI IAIN Surakarta

Reference:

Inskipp, F. (2012). Pelatihan Keterampilan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geldard, Kathryn. Geldard, David. (2011). Keterampilan Praktik Konseling Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

6 thoughts on “Menempatkan Pikiran dan Perasaan”
  1. 171221161/ Annisa Dwi Afriyanti

    ijin menanggapi pak…
    pikiran dan perasaan ibarat kopi dan gula. keduanya berbeda, kopi rasanya pahit sedangkan gula rasanya manis. namun bila keduanya di kombinasikan menjadi satu dengan ditambahkan air hangat, maka jadilah kopi yang rasanya manis. yang tentunya dengan takaran yang seimbang, sehingga rasanya pas antara gula dan kopi. namun bila tidak ditambahkan gula juga tidak apa-apa, namun rasanya akan pahit.

    begitupun dengan pikiran dan perasaan, bila keduanya dipisahkan maka rasanya akan hambar. dan bila keduanya dipadupadankan dengan baik sesuai dengan takaran maka keduanya dapat bekerja sama dengan baik dan menghasilkan suatu hal yang bijak. seperti ketika kita menyelesaikan suatu masalah kita tidak bisa hanya dengan menggunakan pikiran saja atau perasaan saja, keduanya berkedudukan sama namun porsinya yang berbeda.

    Itu sedikit tanggapan saya mengenai pikiran dan perasaan yang bapak tulis, kurang lebihnya saya minta maaf. Terimakasih pak …

  2. Mohon ijin menanggapi.

    Analogika sederhana adalah adanya suatu tempat dg berbagai ruang.

    Misal sebuah bangunan rumah. Didalamnya tentu terdapat tidak hanya satu dua ruang, namun memiliki berbagai ruang dengan fungsi masing2. Ruang makan untuk makan, ruang tidur untuk tidur, kamar mandi untuk mandi, dapur untuk memasak dsb. Diantaranya ada tirai2 yg membatasi sehingga bisa berfungsi secara maksimal sesuai dengan ruangnya.
    Bayangkan jika suatu rumah hanya terdapat satu ruang tidak ada tirai dan disitu untuk berbagai aktivitas, untuk makan, untuk mandi, untuk tidur, untuk masak dsb.
    Alangkah terdapat pemandangan yg luar biasa didalam satu ruang tersebut.

    Begitu pula dengan diri manusia, yg dalam pembahasan disini “pikiran dan perasaan”.
    Menempatkan sesuai dengan ruang nya masing2. Apabila seorang mahasiswa yg aktif, dia bisa menempatkan dimana diri berada.
    Jika saat makul, pikiran yg dibuka adalah makul yg dipelajari, untuk yg lain2 diminimize atau di close dulu file nya, ibarat laptop yg membuka file2 dan software namun ketika yg dikerjakan ms word maka yg lain diminimize atau diclose. Sehingga disitu bisa didapatkan adanya “FOKUS”
    Jika saat organisasi, maka yg dibuka file organisasi shg bisa terarah komunikasi dg anggota. Dan dg keadaan yg lainnya.
    Begitu pula dg perasaan, antara dirumah/dikos, dikampus, maupun diri berada maka perasaan itu memiliki ruang untuk menempatkan posisinya. Tidak hanya satu ruang dijadikan satu, namun dikasih tirai. Sehingga “mood” yg dihasilkan didalam setiap perilaku didapatkan mood yg baik dan diri teresonansi untuk selalu semangat, tidak mutungan, dan positif thinking.

    Terlebih lagi akan didapatkan pada kesadaran qolbu yg tidak terbatasi ruang dan waktu.

    Terimakasih, mohon maaf jika trdp kekurangan.

  3. Ijin menanggapi pak..
    Pikiran dan perasaan, dua analogi yang berbeda namun saling berhubungan satu sama lain. Yang saya maksud berhubungan yaitu ketika perasaan kita merasakan kedaan sedang terasa terancam, sedih, cemas, dll. pikiran kita akan secara refleks memikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan yang sedang dirasakan oleh dirinya. Perasaan akan lebih cepat mendeteksi ketika kita sedang tidak baik-baik saja dan pikiran pun juga akan merespon yang sedang kita rasakan sehingga organ-organ tubuh yang lain juga akan ikut merasakan gejalanya karena pikiran adalah pusat dimana penggerak tubuh/kontrol tubuh. Dan contohnya seperti yang sudah bapak sampaikan diatas tadi, Seperti sakit perut, pusing, lemas, dll. Jadii kesimpulannya menurut saya ketika proses konseling dilakukan perasaan lah yang dahulu dibuka agar kita bisa menempatkan diri kita mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan oleh konseli kita. Jika kita sudah bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh konseli makan kita akan lebih mudah mencari solusi atau penyelesaian masalah karena pikiran kita sudah bisa berfikir untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mungkin kurang lebih seperti itulah gambaran saya mengenai pikiran dan perasaan yang saling berhubungan atau saling merespon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *