Vera Imanti, M.Psi., Psikolog*
Bayangan kuliah daring yang lancar dan efektif ternyata tidak semudah membeli gorengan di angkringan. Butuh perjuangan. Terutama bagi mahasiswa yang merasa menjadi ‘korban’ atas kebijakan ini. Mereka menjadi stress dan cemas di tengah wabah corona yang semakin meluas. Kondisi tersebut dapat menurunkan imunitas mereka. Selain itu, borosnya kuota internet yang digunakan untuk daring atau kuliah online dan tugas-tugas online, memunculkan tuntutan untuk mengembalikan uang SPP. Dalih selanjutnya, mereka merasa ‘tidak enak hati’ untuk terus menerus meminta uang ke orang tua untuk membeli kuota internet. Akhirnya mereka menggalang aksi “mahasiswa bersatu” di akun sosmed untuk meminta kebijakan kuota internet dari kampus demi lancarnya perkuliahan daring.
Di sisi lain kewajiban dosen untuk bisa menyampaikan materi perkuliahannya menjadi tanggung jawab moral. Memberikan hak mahasiswa agar transfer ilmu tetap berjalan, dengan menggunakan media yang dapat terjangkau oleh kedua belah pihak. Materi, tugas, kuis, ujian, ataupun praktek lapangan di desain agar dapat dilaksanakan ketika dosen dan mahasiswa juga harus #dirumahsaja.
Era digital memberikan solusi yang cukup untuk permasalahan ini. Namun tidak semudah itu, bagaimana menjelaskan materi seperti halnya penjelasan di kelas dan mempraktekkan teori di lapangan, diperlukan ide-ide kreatif dari dosen agar mahasiswa dapat menerima informasi tersebut dengan baik. Selanjutnya mahasiswa juga dituntut untuk kreatif dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Namun ternyata tuntutan ini diakui mahasiswa menjadi beban yang berat.
Secara umum Indonesia sedang tidak baik-baik saja pada kondisi wabah virus covid-19 ini. Semua orang terdampak, dari murid PAUD hingga mahasiswa, dari para pekerja hingga ibu rumah tangga. Para pelaku usaha seketika harus menerima konsekuensi omset yang terus menurun, belum lagi sepinya orderan ojek online. Kondisi yang tidak sesuai harapan akan memunculkan konflik, penyesuaian diri (hati dan pikiran) membentuk perilaku, mengubah kebiasan baru dalam kesehariannya, menyikapi hal-hal baru terkait work from homeataupun school from home. Diperlukan kemampuan coping stressyang baik untuk menyikapi kondisi-kondisi tersebut.
Apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah salah satu respon dari situasi. Pada tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan respon “fight or flight” merupakan respon normal dari kondisi abnormal. Namun respon tersebut seharusnya bersifat sementara, sehingga tidak menguat dan akhirnya mempengaruhi perilaku.
Strategi coping yang baik dan tepat yang akan melemahkan respon negatif dan mengarahkan pada hal yang lebih baik. Strategi coping sendiri merupakan suatu cara individu dalam mengatasi masalah dan mengendalikan situasi yang dianggapnya sebagai hambatan yang berupa ancaman, tantangan yang tidak menyenangkan, dan bersifat merugikan. Dengan demikian stress yang dialami dapat berkurang.
Kemampuan mengarahkan stress melalui strategi coping yang tepat sangat dibutuhkan oleh setiap individu, karena setiap individu tidak akan lepas dari permasalahan. Kenali terlebih dulu cara kita ketika mengahadapi permasalahan, apakah lari dari masalah, mengelabui hati dan pikiran, atau menghadapinya. Ada dua bentuk strategi coping menurut Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994) yaitu emotional focused coping dan problem focused coping.
Pada emotional focused coping, individu lebih fokus terhadap kondisi emosinya, sehingga ia berusaha menghilangkan hal-hal yang kurang menyenangkan. Pada bentuk coping ini, individu bisa saja melakukan hal-hal yang negatif untuk memunculkan emosi senang seperti: minum alkohol, minum obat penenang, menghindar dari masalah, atau melakukan hal-hal yang merugikan lainnya. Bentuk coping ini juga memiliki cara yang positif, seperti: olah raga, berpaling pada orang lain untuk meminta bantuan, mengendalikan emosi, atau mengatur cara berfikir untuk menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan.
Sedangkan pada problem focused coping lebih sering digunakan oleh orang dewasa. Pada copingini individu lebih fokus pada permasalahan yang dihadapi, memikirkan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut, menghadapi permasalahan dengan penuh keyakinan (tidak lari dari masalah atau mengalihkan masalah), serta menyusun perencanaan yang matang agar terselesaikan.
Sebagai individu yang beragama, coping berfokus pada religi juga sangat sering dilakukan. Keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT akan membantu kita dalam kesulitan menjadi sumber kekuatan yang besar. Selain itu dengan berdo’a dan berserah diri, dapat menurunkan tingkat stress. Konsep-konsep dalam Islam sebenarnya sudah memberikan banyak jawaban terhadap permasalahan-permasalahan manusia. Dengan memahami dan menjalankannya suasana hati dan pikiran menjadi tenang. Memahami konsep do’a, memahami konsep berserah diri, memahami konsep ikhtiar, dan lain sebagainya.
Nah gaes, respon dari situasi merupakan hal yang normal. Namun perlu dipertimbangkan kembali apakah respon tersebut baik dan tepat, atau tidak. Coba introspeksi diri hal yang mana yang membuat tenang, dan hal mana yang dapat menyelesaikan permasalahan, atau kolaborasikan keduanya. Agar tidak gegabah dalam membuat keputusan.
Adanya gerakan “mahasiswa bersatu”, apakah ini termasuk emotional focused coping, problem focused coping, atau religius focused coping? Kondisi yang sedang dialami saat ini pastinya menimbulkan banyak konflik. Dianjurkan untuk sesegera mungkin menentukan solusi, tidak lagi mengedepankan emosi, apalagi agresivitas. Menjadi pribadi yang dewasa ditunjukan dengan strategi coping yang tepat. Kedewasaan bukan hanya terkait usia, namun juga terkait sikap dan pemikiran. So, pilihanmu yang mana?
*Dosen Prodi BKI IAIN Surakarta