Sari Asih Guritno, S.Sos*
Pandemi virus Covid-19 rasanya masih ‘kerasan’ di bumi pertiwi. Entah bagaimana masyarakat Indonesia mampu menghadapinya. Kepanikan dan ketakutan menjadi teman akrab yang sulit untuk dipisah saat ini. Indikatornya adalah mulai dari banyaknya penjual hand sanitizer dadakan, dokter dadakan di WA group, sampai penjahit baju yang sekarang beralih profesi menjadi penjahit masker.
Entah karena niat membantu pencegahan penyebaran virus atau hanya sekedar mencari keuntungan. Meroketnya harga masker dan hand sanitizer sudah seperti harga emas. Belum lagi ditambah pemberlakuan #wfh untuk para pekerja dan pembelajaran daring untuk pelajar. Penggunaan sosial media menjadi kebutuhan primer untuk nafas kinerja para karyawan dan pelajar. Tuntutan di mana-mana sedangkan keterbatasan sumber daya dan teknologi yang seolah enggan untuk diajak kompromi.
Beberapa orang tidak menyadari bahwa di tengah musibah covid-19 ini, ada lubang krisis kemanusiaan yang menganga. Lihatlah sekitarmu, berapa banyak orang yang panik karena virus ini? Pada akhirnya memunculkan overreact setelah over mengkonsumsi berita yang sayangnya jarang sekali untuk dicek kebenarannya terlebih dahulu.
Panic buying melanda di beberapa daerah. Meskipun supermarket sudah membatasi untuk membeli barang-barang tersebut. Masih saja ada yang memborong. Ditambah lagi penolakan terhadap jenazah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal. Bullying terhadap Orang Dalam Pengawasan (ODP) di beberapa wilayah. Para buruh yang tekena PHK karena situasi ini pun turut mewarnai kolom pemberitaan media.
Dan menariknya lagi. Ada video di media sosial yang membuat saya tertawa dan geleng-geleng kepala. Ada orang yang belanja di supermarket menggunakan APD. Entah karena takut terjangkit atau memang hanya untuk kepuasaan pribadi untuk upload di sosmed. Saya tidak mengerti. Padahal di beberapa rumah sakit, APD merupakan barang langka dan menjadi atribut wajib sebagai alat perlindungan diri.
Dari masalah di atas, saya pun menyadari bahwa itulah kelemahan sifat dasar manusia. Hal ini merujuk pada konsep ego menurut Freud mengenai sifat ke-Aku-an dan ego yang mementingkan diri sendiri. Sudah seharusnya awareness kita akan apa yang terjadi di sekitar harus terbentuk sejak dini. Agar kita tidak lupa bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri.
Dari kasus virus ini, terbersit di pikiran saya apakah rakyat Indonesia akan melakukan tindakan yang sama ketika suatu saat terjadi genjatan senjata?Kita dalam kondisi dalam berperang. Apakah masih ada kata ‘yang penting saya selamat’? Di tengah perang ada segelintir orang yang menjual baju anti peluru karena masyarakat takut tertembak atau masih sempat menimbun beras karena takut kelaparan. Kadang pikiran gila itu muncul seketika.
Tapi pikiran gila tersebut perlahan menghilang karena masifnya aksi solidaritas melalui penggalangan dana, masker atau hand sanitizer bahkan APD oleh pelbagai elemen masyarakat. Seperti yang dilakukan Najwa Shihab dan para musisi Indonesia atau desaigner ternama Ibu Kota. Tidak lupa pula peran NGO (Non Governmnet Organization) yang ikut membela hak buruh yang di PHK atau dipotong gajinya. Dan hal lain yang dilakukan oleh pejuang kemanusiaan untuk mengurangi dampak negatif virus ini.
Dari sini saya menyadari bahwa pandemi covid-19 ini harusnya mampu membawa kita pada tingkat kesadaran moral dan tanggung jawab sosial sebagai Khalifah fil Ardh. Mereka membutuhkan uluran tangan kita semua sebagai mitra untuk bangkit membantu menyudahi musibah ini dengan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk solidaritas antar sesama. Agar ukhuwah basyariah atas dasar kemanusiaan terpatri dalam diri setiap muslim dan umat beragama lainnya.
*Alumni, BKI Angkatan 2014