Dr. H. Kholilurrohman, M.Si*

Akhir-akhir ini ada satu nama yang menggoncang dunia karena dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia. Utamanya, mereka yang memang fisiknya tidak fit, seperti: memiliki riwayat penyakit paru-paru. Bahkan dokter yang bergelut dengan dunia pervirusan saja wafat karena virus itu. Ia bernama virus Corona.

Dahulu, di kalangan masyarakat Jawa pernah ada penyakit yang bila seseorang pagi sakit, sore mati dan bila sore sakit, paginya mati. Istilahnya, zaman pagebluk. Mereka yang mati, segera dikebumikan agar penyakitnya tidak menyebar dan menulari yang lain. Atau yang diserang bukannya manusia, tetapi padi (ekonomi). 

Bagi orang Jawa, di kalangan petani ada istilah den bagus. Istilah den bagus ini untuk memanggil binatang tikus. Tikus menjadi ‘musuh’ petani karena merusak/menghabiskan padi. Para petani mengubah kata musuh menjadi sahabat dengan memberi nama tikus dengan sebutan den bagus (baca: raden bagus). Dan ketika hama tikus menyerang padi petani, para petani akan berkata, “den bagus mangano sak wareg mu, tapi aku turahano.” (wahai raden bagus/tampan makanlah sekenyang mu, tapi tolong aku masih diberi sisa). 

Hari ini semua orang tampaknya menganggap covid 19 sebagai musuh bersama. Bahkan narasi di mass media cetak maupun elektronik semua membuat narasi #bersamamelawancovid19. Seakan lupa kalau covid 19 adalah makhluk Allah yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah dan beribadah dengan caranya sendiri. Mengapa? Apakah kita lupa bahwa bakteri yang dibawa nyamuk bisa lebih dahsyat ketimbang covid-19 atau kencing tikus got yang besar-besar dan menjijikkan itu.

Bagaimana pun ‘musuh’ virus covid-19 tidak tampak sebagaimana yang dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwana X (Raja Yogyakarta) yang membandingkan covid-19 dengan bencana 2006 saat Yogyakarta dan sekitarnya digoyang gempa yang wujud kerusakannya tampak mata. Karena itu, cara mengatasinya adalah dengan mengikuti petunjuk para ulama/kiai dengan banyak beristighfar, bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil, berhauqola. Lalu berserah diri kepada Allah. Tidak lupa mengikuti nasehat dari para dokter/ ahli virus dengan mencuci tangan tiap kali akan/setelah berjabat tangan/berinteraksi dengan orang lain. Berolahraga. Makan dengan asupan 4 sehat 5 sempurna. Jaga jarak dengan yang lain. Memakai masker utamanya bagi yang sakit. 

Tidak jarang kita saksikan di tengah masyarakat ada anggota genk ganas tetapi tidak mengganggu/berlawanan dengan komunitasnya yang bukan genk. Ia hanya mengusik orang diluar komunitasnya. Bahkan anggota genk ini sering memberikan hasil ‘jarahannya’ kepada komunitasnya. Mengapa komunitasnya tidak disakiti? Karena komunitas menganggap genk sebagai bagian komunitasnya dan cenderung ke sahabat maka tidak ada masalah. Sebagaimana yang pernah dilakukan begal Lokajaya yang hanya mencuri harta dari orang-orang kaya dan bahkan harta keluarganya sendiri lalu diberikan kepada para fakir miskin.

Covid-19 bagaimana pun adalah bagian dari skenario Allah. terlepas apakah itu termasuk senjata perang atau tidak. Atau apakah itu kegagalan manusia dalam bereksperimen. Justru yang terus menjadikan kita sebagai mukmin adalah senantiasa yakin bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segalanya. Hanya dengan covid-19 ekonomi dapat berputar dengan kencang bisa juga justru berhenti total. Dengan covid-19 solidaritas sesama anak bangsa Indonesia diuji, apakah yang kaya mau memberi makanan kepada yang miskin. Mengapa? Karena 14 hari atau bisa jadi lebih harus berdiam diri di rumah. 

Akhirnya, covid-19 kalau kita anggap sebagai sahabat, katakanlah ia sempat mampir di tubuh kita, itu pun takkan lama dan tak akan menyakiti. Ia akan pergi ketika saatnya pergi. Bila tugasnya telah berakhir, covid-19 pun akan kembali. Semoga. Bismillah.

*Dosen BKI IAIN Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *